Di tengah arus modernisasi dan globalisasi, budaya lokal semakin terpinggirkan, terutama link alternatif neymar88 di kalangan generasi muda. Banyak tradisi, bahasa daerah, hingga seni lokal mulai dilupakan karena dianggap tidak relevan. Namun, harapan tetap ada melalui kolaborasi antara pendidikan formal dan non-formal yang bisa menjadi solusi kuat untuk melestarikan budaya secara berkelanjutan.
Pendidikan Bukan Sekadar Akademik, tapi Juga Identitas
Sekolah formal seringkali fokus pada capaian akademik dan kurikulum nasional. Sayangnya, aspek budaya sering hanya menjadi sisipan atau tema tahunan. Di sisi lain, lembaga non-formal seperti sanggar seni, komunitas adat, dan pusat kegiatan budaya justru kaya akan praktik budaya langsung, namun sering kekurangan dukungan dan pengakuan. Padahal, jika keduanya bekerja sama, bisa tercipta sistem pendidikan yang membentuk siswa tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga sadar akar budaya mereka.
Baca juga: Gaya Baru Mengajar Budaya: Dari Sekolah ke Desa Kreatif!
Kolaborasi ini dapat dimulai dari pelibatan komunitas budaya ke dalam kegiatan sekolah, menghadirkan pembelajaran kontekstual yang menyenangkan dan bermakna. Tidak hanya mendengar cerita budaya, siswa bisa terlibat langsung dalam praktiknya—mulai dari menari, membatik, hingga mendongeng dalam bahasa daerah.
-
Sekolah mengundang praktisi budaya sebagai narasumber atau pelatih rutin
-
Program ekstrakurikuler diintegrasikan dengan kegiatan dari sanggar atau komunitas budaya
-
Pendidikan non-formal diberi ruang dalam kurikulum lokal sebagai penguat identitas
-
Festival budaya sekolah melibatkan kerja sama lintas lembaga, bukan hanya acara seremonial
-
Evaluasi pembelajaran budaya dibuat berbasis praktik, bukan hanya teori atau hafalan
Masa depan budaya Indonesia sangat bergantung pada generasi muda. Melalui sinergi antara pendidikan formal dan non-formal, pelestarian budaya tidak lagi jadi wacana kosong, melainkan bagian nyata dari proses tumbuh kembang anak sebagai pewaris jati diri bangsa